Fenomena pulang kampung (mudik)
pada saat Idul Fitri telah menjadi peristiwa budaya dan keagamaan yang sangat
semarak. Besarnya jumlah pemudik yang
puncaknya diperkirakan dua-tiga hari menjelang Idul Fitri, telah menimbulkan
permasalahan yang tidak mudah dipecahkan. Karena dalam waktu yang hampir
bersamaan puluhan juta orang melakukan perjalanan mudik, melalui darat dengan
kendaraan sepeda motor, mobil, kendaraan umum (bus) dan kereta api, serta udara
dengan pesawat terbang, dan laut dengan kapal laut.

Tujuan Mudik
Beratnya tantangan yang dihadapi
para pemudik, tidak pernah menyurutkan niat dan kemauan mudik ke kampung halaman.
Paling tidak ada lima alasan yang menjadi tujuan para pemudik pulang kampung.
Pertama,
dorongan keagamaan yang telah menjadi budaya. Begitu kuat tarikan keagamaan
yang telah menjadi budaya, karena Islam mengajarkan bahwa mereka yang sudah
berpuasa akan diampuni dosa-dosanya. Akan tetapi, yang diampuni hanya dosa di
hadapan Allah, sedang dosa kepada orang tua, saudara kandung, tetangga dan
sekampung, tidak akan diampuni kecuali saling bermaaf-maafan dengan jabat
tangan melalui silaturahim antara satu dengan yang lain.
Kedua,
ziarah ke kubur. Telah menjadi budaya di kalangan masyarakat bahwa menjelang
puasa Ramadan dan Idul Fitri, anak-anak, menantu, keluarga dan famili pergi
berziarah ke kubur orang tua, kakek, nenek dan leluhur serta keluarga terdekat
sambil mendoakan. Itu tidak mungkin dilakukan kalau tidak mudik. Bagi mereka
yang berasal dari kampung. Maka dalam kesempatan Idul Fitri dilakukan ziarah ke
kubur, selain silaturahim.
Ketiga,
rindu kampung halaman. Setiap tahun kerinduan kepada kampung halaman selalu
diobati dengan mudik. Ini adalah fenomena sosial yang menarik sebagai makhluk
sosial, rindu kepada asal usulnya di kampung halaman. Oleh karena itu,
tantangan berat yang dihadapi untuk pulang kampung, tidak menjadi persoalan,
mereka tetap lakoni dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Keempat,
bernostagia di kampung halaman. Masa kecil di kampung halaman adalah masa-masa
yang paling indah dan menyenangkan. Maka setiap tahun, kenangan indah itu,
selalu ingin diperbaruai dengan pulang kampung sambil membawa keluarga seperti
anak, menantu dan istri supaya ikut menghayati suasana kampung di masa dahulu.
Kelima,
unjuk diri kesuksesan di perantauan. Hal itu, ikut juga mewarnai perasaan
sebagian pemudik untuk pulang kampung. Budaya pamer berlaku kepada semua
tingkatan sosial. Maka momentum Lebaran, pulang kampung dengan niat yang
bermacam-macam, salah satu adalah unjuk diri (pamer).
Dampak Negatif Mudik
Mudik Lebaran yang sudah menjadi
budaya, diakui atau tidak, mempunyai dampak negatif. Pertama, konsumerisme,
pamer kemewahan, boros dan berbagai perilaku yang tidak sepenuhnya sesuai
dengan ajaran Islam dan tujuan puasa itu sendiri. Di mana hasil puasa selama
sebulan penuh, seharusnya semakin menghadirkan ketakwaan yaitu kedekatan kepada
Allah dan sesama manusia yang sebagian besar masih mengalami kesulitan hidup.
Mereka masih dihimpit kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Kedua,
bisa mengundang cemburu dan iri hati para penduduk kampung.
Pulangnya
para pemudik untuk berlebaran di kampung halaman, dengan memamerkan kemewahan
misalnya mobil yang bagus, baju dan sepatu yang baru, bisa menimbulkan 'cultural shock' (goncangan budaya). Di mana orang-orang kampung atau
desa meniru dan mengikuti cara hidup orang kota yang pulang kampung, misalnya
berutang dan atau menjual harta benda seperti tanah untuk membeli motor, mobil
dan sebagainya sebagai asesori kemewahan.
Bisa
juga orang-orang kampung terutama anak-anak muda, laki-laki dan perempuan
merantau, dalam rangka mengikuti jejak para pemudik. Untuk mendapatkan harta
dan kemewahan, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan
harta, supaya tahun berikutnya, mereka juga bisa mudik dan menampilkan kekayaan
dan kemewahan seperti saudara-saudaranya yang mudik tahun lalu.
Ketiga,
memacu urbanisasi dan migrasi. Mudik Lebaran, juga bisa berdampak negatif yang
memacu peningkatan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kampung atau
desa ke berbagai kota di Indonesia. Selain itu, juga dapat mendorong
meningkatnya migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari satu negara ke negara
lain. Dalam sejarah mudik Lebaran, sudah terbukti bahwa usai mudik lebaran,
semakin banyak orang kampung yang melakukan urbanisasi, meninggalkan kampung
halamannya untuk mencari kehidupan di kota.
Sebenarnya
peristiwa urbanisasi dan migrasi adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan
modern, dan merupakan hak asasi setiap orang yang dijamin dan dilindungi oleh
hukum dan undang untuk melakukan sesuai yang diinginkan. Akan tetapi,
urbanisasi dan migrasi ke negara lain misalnya ke negeri jiran Malaysia, dan
Arab Saudi, banyak menimbulkan masalah, karena mereka yang melakukan urbanisasi
dan migrasi ke negara lain, tidak memiliki pendidikan dan kepakaran (skill)
yang memadai. Akibatnya untuk bertahan hidup di kota atau di negara lain,
mereka terpaksa melakukan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum
seperti menjadi penjual seks, peminta-minta, bahkan pencuri dan perampok.
Dampak Positif Mudik
Mudik Lebaran, di samping
menimbulkan dampak negatif, juga banyak dampak positifnya. Pertama, dampak
ekonomi. Mudik para perantau telah menimbulkan dampak positif bagi ekonomi di
kampung halaman. Mereka pulang dengan membawa uang dan berbelanja telah
mendorong perputaran ekonomi yang tinggi di kampung, sehingga para petani,
nelayan dan pemerintah daerah mendapat manfaat ekonomi. Mereka menyewa hotel
dan penginapan, telah mendorong kemajuan kampung halaman karena membuka dan
memajukan bisnis penginapan dan hotel. Belum lagi, pemudik memberi sedekah,
zakat fitrah dan zakat harta (mal) kepada keluarga dan penduduk di kampung
halaman mereka.
Kedua,
silaturahim (hubungan kasih sayang) antara pemudik dan penduduk kampung
terbangun kembali, yang selama hampir satu tahun tidak pernah bertemu. Ini
sangat positif untuk memelihara, merawat dan menjaga bangunan kebersamaan satu
kampung.
Ketiga,
persatuan dan kesatuan terjaga dan terpelihara. Bangsa Indonesia yang amat
tinggi rasa keagamaan (religiusitas)-nya, telah memberi andil yang besar untuk
menjaga, merawat dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan seluruh bangsa
Indonesia melalui medium silaturahim Idul Fitri. Hal ini, tidak bisa dinilai
dengan pengorbanan harta dan tenaga yang dilakukan para pemudik.
Keempat,
pengamalan agama. Peristiwa mudik Lebaran, juga mempunyai dampak positif dalam
pengamalan ajaran Islam. Karena di tengah kemajuan yang membawa manusia kepada
perilaku individualistik, yang enggan berhubungan dengan pihak lain dan merasa
terganggu, melalui medium silaturahim Idul Fitri dalam rangka hubungan manusia
(hablun minannaas) tetap diamalkan, dan bahkan telah menjadi budaya seluruh
bangsa Indonesia.
Kelima,
secara sosiologis, mudik Lebaran mendekatkan si perantau yang sudah sukses
dengan mereka yang masih berdomisi di kampung halaman seperti orang tua, famili
dan teman-teman. Peristiwa mudik, bisa memperbaharui kembali hubungan sosial
dengan masyarakat sekampung, yang tentu berdampak positif dalam memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa.
Kesimpulan
Peristiwa mudik Lebaran yang telah
menjadi budaya, harus terus dipelihara, dijaga dan dilestarikan, karena dampak
positifnya lebih banyak ketimbang dampak negatifnya. Yang harus dilakukan ialah
mengurangi dampak negatif mudik dengan melakukan, pertama, meningkatkan
kesadaran para pemudik bahwa keselamatan dalam perjalanan mudik adalah
segalanya.
Mereka
yang akan mudik, dan sedang dalam perjalanan mudik, diharapkan semakin
hati-hati menjaga keselamatan. Jangan memaksakan diri dalam perjalanan, harus
berhenti dan beristirahat secukupnya baru melanjutkan lagi perjalanan.
Pada
tahun-tahun mendatang, mudik dengan kendaraan bermotor secara bertahap harus
dihentikan dengan menitipkan kendaraannya di kapal laut, dan kereta api untuk
diantar ke kampung halaman. Suami istri, dan dan anak-anak, sebaiknya memilih
kendaraan umum, kereta api atau kapal laut untuk keselamatan dalam perjalanan
mudik.
Kedua,
pemerintah harus terus meningkatkan penyediaan transportasi massal untuk
melayani pemudik. Selain itu, berbagai perusahaan yang peduli pemudik, dari
jauh hari harus bekerja sama dengan media untuk memberitahu masyarakat tentang
adanya penyediaan fasilitas mudik.
Ketiga,
para pemudik harus membuat perencanaan. Paling kurang tiga bulan sebelum mudik
sudah memesan tiket dan menghubungi perusahaan atau organisasi yang biasa
menyelenggarakan mudik bareng secara gratis.
Keempat,
pemerintah terutama Kementerian Pekerjaan Umum RI, sudah saatnya membuat jalan
yang berkualitas tinggi untuk jangka waktu yang panjang. Jangan seperti
sekarang, setiap tahun jalan raya yang dilalui pemudik dilakukan tambal sulam
dan tidak pernah baik.
Kelima,
sudah saatnya seluruh bangsa Indonesia terutama para pemudik meningkatkan
disiplin dalam berlalu lintas. Pada saat yang sama, aparat kepolisian sebagai
aparat penegak keamanan, menindak mereka yang tidak disiplin dalam berlalu
lintas.
Semoga
semangat mudik Lebaran mendorong seluruh bangsa Indonesia untuk mengambil
hikmah yang positif dan negatif dari peristiwa mudik, demi perbaikan di masa
depan.
https://news.detik.com/kolom/d-1992133/budaya-mudik-dan-dampak-positifnya
0 komentar:
Posting Komentar